http://baak.gunadarma.ac.id http://studentsite.gunadarma.ac.id http://ilab.gunadarma.ac.id

Minggu, 19 Mei 2013

Penyelesaian Sengketa Ekonomi


1.      Pengertian Sengketa
Pengertian sengketa dalam kamus Bahasa Indonesia, berarti pertentangan atau konflik, Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan. Senada dengan itu Winardi mengemukakan :
Pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu-individu atau kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain.
Sedangkan menurut Ali Achmad berpendapat : Sengketa adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi keduanya.
Devenisi diatas maka dapat dikatakan bahwa sengketa tanah adalah merupakan konflik antara beberapa pihak yang mempunyai kepentingan yang sama atas bidang-bidang tanah tertentu yang oleh karena kepentingan tersebut maka dapat menimbulkan akibat hukum. Dalam bidang pertanahan ada dikenal sengketa sertifikat ganda dimana pada satu objek tanah diterbitkan dua sertifikat, dimana hal ini dapat mengakibatkan akibat hukum. Sengketa sertifikat ganda adalah bentuk kesalahan administratif oleh pihak Badan Pertanahan Nasional (disingkat BPN) dalam hal melakukan pendataan/pendaftaran tanah pada satu objek tanah yang mengakibatkan terjadinya penerbitan sertifikat tanah yang bertindih sebagian atau keseluruhan tanah milik orang lain.
2.      Cara-cara Penyelesaian

1.      Negosiasi
Negosiasi adalah sarana paling banyak digunakan. Sarana ini telah dipandang sebagai sarana yang paling efektif. Lebih dari 80% (delapan puluh persen) sengketa di bidang bisnis tercapai penyelesaiannya melalui cara ini. Penyelesaiannya tidak win-lose tetapi win-win. Karena itu pula cara penyelesaian melalui cara ini memang dipandang yang memuaskan para pihak.
2.      Arbitrase
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase sudah semakin populer di kalangan pengusaha. Kontrak-kontrak komersial sudah cukup banyak mencantumkan klausul arbitrase dalam kontrak mereka. Dewasa ini Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), sudah semakin populer. Badan-badan penyelesaian sengketa sejenis telah pula lahir. Di antaranya adalah Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI), badan penyelesaian sengketa bisnis, dll.
3.      Pengadilan
Persepsi umum yang lahir dan masih berkembang dalam masyarakat adalah masih adanya ketidakpuasan sebagian masyarakat terhadap badan pengadilan.4 Pengusaha atau para pelaku ekonomi dan bisnis, terlebih masyarakat awam melihat hukum bukan dari produk-produk hukum yang ada atau yang pemerintah keluarkan. Masyarakat umumnya meljhat pengadilan sebagai hukum. Begitu pula persepsi mereka terhadap polisi, jaksa, atau pengacara.
4.      Negosiasi
Negosiasi adalah sebuah bentuk interaksi sosial saat pihak – pihak yang terlibat berusaha untuk saling menyelesaikan tujuan yang berbeda dan bertentangan. Menurut kamus Oxford, negosiasi adalah suatu cara untuk mencapai suatu kesepakatan melalui diskusi formal. Negosiasi merupakan suatu proses saat dua pihak mencapai perjanjian yang dapat memenuhi kepuasan semua pihak yang berkepentingan dengan elemen-elemen kerjasama dan kompetisi.Termasuk di dalamnya, tindakan yang dilakukan ketika berkomunikasi, kerjasama atau memengaruhi orang lain dengan tujuan tertentu.
5.      Mediasi
Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa melalui proses perundingan atau mufakat para pihak dengan dibantu oleh mediator yang tidak memiliki kewenangan memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Ciri utama proses mediasi adalah perundingan yang esensinya sama dengan proses musyawarah atau konsensus. Sesuai dengan hakikat perundingan atau musyawarah atau konsensus, maka tidak boleh ada paksaan untuk menerima atau menolak sesuatu gagasan atau penyelesaian selama proses mediasi berlangsung. Segala sesuatunya harus memperoleh persetujuan dari para pihak.
6.      Perbandingan antara Perundingan, Arbitrase dan Ligitasi
Negosiasi atau perundingan
Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa dimana para pihak yang bersengketa saling melakukan kompromi untuk menyuarakan kepentingannya. Dengan cara kompromi tersebut diharapkan akan tercipta win-win solution dan akan mengakhiri sengketa tersebut secara baik.
Litigasi adalah sistem penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan. Sengketa yang terjadi dan diperiksa melalui jalur litigasi akan diperiksa dan diputus oleh hakim. Melalui sistem ini tidak mungkin akan dicapai sebuah win-win solution (solusi yang memperhatikan kedua belah pihak) karena hakim harus menjatuhkan putusan dimana salah satu pihak akan menjadi pihak yang menang dan pihak lain menjadi pihak yang kalah.
Kebaikan dari sistem ini adalah:
1. Ruang lingkup pemeriksaannya yang lebih luas
2. Biaya yang relatif lebih murah
Sedangkan kelemahan dari sistem ini adalah:
1. Kurangnya kepastian hukum
2. Hakim yang “awam”
Arbitrase
Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa yang mirip dengan litigasi, hanya saja litigasi ini bisa dikatakan sebagai “litigasi swasta” Dimana yang memeriksa perkara tersebut bukanlah hakim tetapi seorang arbiter. Untuk dapat menempuh prosesi arbitrase hal pokok yang harus ada adalah “klausula arbitrase” di dalam perjanjian yang dibuat sebelum timbul sengketa akibat perjanjian tersebut, atau “Perjanjian Arbitrase” dalam hal sengketa tersebut sudah timbul namun tidak ada klausula arbitrase dalam perjanjian sebelumnya. Klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase tersebut berisi bahwa para pihak akan menyelesaikan sengketa melalui arbitrase sehingga menggugurkan kewajiban pengadilan untuk memeriksa perkara tersebut. Jika perkara tersebut tetap diajukan ke Pengadilan maka pengadilan wajib menolak karena perkara tersebut sudah berada di luar kompetensi pengadilan tersebut akibat adanya klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase.
Beberapa keunggulan arbitrase dibandingkan litigasi antara lain:
1. Arbitrase relatif lebih terpercaya karena Arbiter dipilih oleh para pihak yang bersengketa.
2. Arbiter merupakan orang yang ahli di bidangnya sehingga putusan yang dihasilkan akan lebih cermat.
3. Kepastian Hukum lebih terjamin karena putusan arbitrase bersifat final dan mengikat para pihak.
Sedangkan kelemahannya antara lain:
1. Biaya yang relatif mahal karena honorarium arbiter juga harus ditanggung para pihak (atau pihak yang kalah)
2. Putusan Arbitrase tidak mempunyai kekuatan eksekutorial sebelum didaftarkan ke Pengadilan Negeri.
3. Ruang lingkup arbitrase yang terbatas hanya pada sengketa bidang komersial (perdagangan, ekspor-impor, pasar modal, dan sebagainya)
Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Negosiasi
http://id.wikipedia.org/wiki/Mediasi
http://id.wikipedia.org/wiki/Arbitrase

Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat


1.      Pengertian
Sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, pengaturan mengenai persaingan usaha tidak sehat didasarkan pada Pasal 1365 KUH Perdata mengenai perbuatan melawan hukum dan Pasal 382 bis KUH Pidana. Berdasarkan rumusan Pasal 382 bis KUH Pidana, seseorang dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak tiga belas ribu lima ratus ribu rupiah atas tindakan ‘persaingan curang’ bila memenuhi beberapa kriteria sbb:
a)      Adanya tindakan tertentu yang dikategorikan sebagai persaingan curang.
b)      Perbuatan persaingan curang dilakukan dalam rangka mendapatkan, melangsungkan, dan memperluas hasil dagangan atau perusahaan.
c)      Perusahaan, baik milik si pelaku maupun perusahaan lain, diuntungkan karena persaingan curang tersebut.
d)     Perbuatan persaingan curang dilakukan dengan cara menyesatkan khalayak umum atau orang tertentu.
e)      Akibat dari perbuatan persaingan curang tersebut menimbulkan kerugian bagi konkruennya dari orang lain yang diuntungkan dengan perbautan si pelaku
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan pengertian monopoli, yaitu suatu bentuk penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku atau satu kelompok pelaku usaha. Yang dimaksud dengan pelaku usaha adalah setiap orang-perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi. Pasal 4 ayat 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan bahwa pelaku usaha dapat dianggap secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa jika kelompok usaha menguasai lebih dari 75% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Dengan demikian praktik monopoli harus dibuktikan dahulu adanya unsur yang mengakibatkan persaingan tidak sehat dan merugikan kepentingan umum.
2.      Asas dan Tujuan
Dalam melakukan usaha di Indonesia, pelaku usaha harus berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan umum dan pelaku usaha. Sementara itu tujuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah sbb:
a)      Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat
b)      Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, menengah, dan kecil
c)      Mencegah praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha
d)     Menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha

3.      Kegiatan yang Dilarang

1.      Monopoli
Monopoli adalah pengadaan barang dagangan tertentu sekurang-kurangnya sepertiganya dikuasai oleh satu orang atau kelompok sehingga harganya dapat dikendalikan.
2.      Monopsoni
Monopsoni adalah keadaan pasar yang tidak seimbang dan dikuasai oleh seorang pembeli; oligopsoni yang terbatas pada seorang pembeli.
3.      Penguasaan pasar
Penguasaan pasar merupakan proses, cara, atau perbuatan menguasai pasar yang berupa:
a)      Menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan.
b)      Menghalangi konsumen untuk melakukan hubungan dengan pelaku usaha pesaing pada pasar bersangkutan.
c)      Melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu

4.      Persengkongkolan
Persekongkolan berarti berkomplot atau bersepakat melakukan kecurangan. Ada beberapa bentuk persekongkolan yang dilarang oleh UU Nomor 5 Th. 1999 dalam Pasal 22 sampai Pasal 24, yaitu sbb:
a)      Dilarang melakukan persekongkolan dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
b)      Dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapat informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan rahasia perusahaan.
c)      Dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengahambat produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaing dengan maksud agar barang dan atau jasa yang ditawarkan menjadi berkurang, baik jumlah, kualitas maupun kecepatan waktu yang disyaratkan.
Pasal 1 angka 4 UU No.5 Th.1999 menyebutkan bahwa posisi dominan merupakan keadaan pelaku usaha yang tidak adanya pesaing yang berarti di pasar ybs dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi diantara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan , akses pada pasokan, penjualan, dan menyesuaikan pasokan dan permintaan barang atau jasa tertentu. Persentase penguasaan pasar oleh pelaku usaha sehingga dapat dikatakan menggunakan posisi dominan sebagaimana ketentuan di atas adalah sbb:
a)      Satu pelaku atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
b)      Dua atau tiga pelaku usaha satau satu kelompok pelaku usaha menguasai 75% atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa.

5.      Jabatan rangkap
Seseorang yang menduduki jabatan direksi atau komisaris suatu perusahaan dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris perusahaan lain pada waktu yang bersamaan apabila:
a)      Berada dalam pasar bersangkutan yang sama
b)      Memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan atau jenis usaha
c)      Secara bersama dapat menguasai pangsa pasar barang dan atau jasa tertentu yang dapat menimbulkan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.

6.      Pemilikan saham
Pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis, melakukan kegiatan usaha dalam bidang sama pada pasar bersangkutan yang sama, atau mendirikan beberapa perusahaan yang sama bila kepemilikan tersebut mengakibatkan persentase penguasaan pasar yang dapat dikatakan menggunakan posisi dominan (UU Nomor 5 Tahun 1999 Pasal 27).
7.      Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan
Dalam menjalankan perusahaan, pelaku usaha yang berbadan hukum maupun yang bukan berbadan hukum, yang menjalankan perusahaan bersifat tetap dan terus-menerus dengan tujuan mencari laba, secara tegas dilarang melakukan tindakan penggabungan , peleburan, dan pengambilalihan yang berakibat praktik monopoli dan persaingan tidak sehat (UU Nomor 5 Tahun 1999 Pasal 28). Hanya penggabungan yang bersifat vertikal yang dapat dilakukan sesuai dengan UU Nomor 5 Tahun 1999 Pasal 14.
4.      Perjanjian yang Dilarang

1.      Oligopoli
Oligopoli merupakan keadaan pasar dengan produsen dan pembeli barang berjumlah sedikit sehingga dapat mempengaruhi pasar, maka:
a)      Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha dengan secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa.
b)      Pelaku usaha patut diduga melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa bila dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai >75% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Penetapan harga
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian sbb:
a)      Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.
b)      Perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama.
c)      Perjanjian dengan pelaku usaha pesaing untuk menetapkan harga di bawah harga pasar.
d)     Perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya dengan harga lebih rendah dari harga yang telah dijanjikan.
Pembagian wilayah
a)      Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan membagi wilayah pemasaran atau lokasi pasar terhadap barang dan atau jasa.
Pemboikotan
a)      Pelaku usaha dilarang melakukan perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun luar negeri.
b)      Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menolak menjual setiap barang dan atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut berakibat:
Merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain
Membatasi pelaku usaha lain dalam menjaul atau membeli setiap barang dan atau jasa dari pasar bersangkutan.
2.      Kartel
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang atau jasa.
3.      Trust
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup tiap perusahaan atau peseroan anggotanya yang bertujuan mengontrol produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa.
4.      Oligopsoni
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan menguasai pembelian atau penerimaan pasokan secara bersama-sama agar dapat mengendalikan harga barang atau jasa dalam pasar ybs. Pelaku usaha dapat diduga atau dianggap secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan apabila dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai >75% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
5.      Integrasi vertikal
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung.
6.      Perjanjian tertutup

a)      Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak dan atau tempat tertentu.
b)      Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku.
c)      Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan atau jasa yang membuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok, antara lain:
Harus bersedia membeli barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok
Tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.
7.      Perjanjian dengan pihak luar negeri
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
5.      Hal-Hal yang Dikecualikan dari Undang-Undang Anti Monopoli

a)      Perjanjian yang dikecualikan, Perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual, termasuk lisensi, paten, merk dagang, hak cipta, desain produk industry, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang.
b)      Perjanjian yang berkaitan dengan waralaba.
c)      Perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak mengekang dan atau menghalangi persaingan.
d)     Perjanjian dalam rangka keagenan yang isisnya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga yang lebih rendah dari harga yang telah dijanjikan.
e)      Perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat luas.
f)       Perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah.
g)      Perbuatan yang dikecualikan.
h)      Perbuatan pelaku usaha yang tergolong dalam pelaku usaha.
i)        Kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggota.
j)        Perbuatan dan atau perjanjian yang dikecualikan.
k)      Perbuatan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
l)        Perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan untuk ekspor dan tidak mengganggu kebutuhan atau pasokan dalam negeri.

6.      Komisi Pengawas Persaingan Usaha
KPPU adalah sebuah lembaga yang mengawasi pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya melakukan praktik monopoli dan atau persaingan usaha yang tidak sehat. Hal ini diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1999. Tugas dan wewenang KPPU antara lain:
a)      Melakukan penilaian terhadap perjanjian yang telah dibuat oleh pelaku usaha.
b)      Melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha / tindakan pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya.
c)      Mengambil tindakan sesuai dengan wewenang komisi
d)     Memberikan saran dan pertimbangan kebijakan pemerintah terhadap praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
e)      Menerima laporan dari masyarakat/pelaku usaha tentang dugaan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
f)       Melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha/tindakan pelaku usaha yang dapat menimbulkan praktik monopoli / persaingan usaha tidak sehat.
g)      Melakukan penyelidikan/ pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktik monopoli/ persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan masyarakat atau pelaku atau yang ditemukan oleh komisi sebagai hasil dari penelitiannya.
h)      Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang.
i)        Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang yang tidak bersedia memenuhi panggilan komisi.
j)        Menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini.

7.      Sanksi
Sanksi administrasi
Sanksi ini dapat berupa penetapan pembatasan perjanjian, pemberhentian integrasi vertikal, perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan posisi dominan, penetapan pembatalan atas penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan badan usaha, penetapan pembayaran ganti rugi, penetapan denda serendah-rendahnya satu milyar rupiah atau setinggi-tingginya 25 milyar rupiah.
Sanksi pidana pokok dan tambahan
Sanksi ini dimungkinkan bila pelaku usaha melanggar integrasi vertikal, perjanjian dengan pihak luar negeri, melakukan monopoli, monopsoni, penguasaan pasar, posisi dominan, pemilikan saham, penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan dikenakan denda minimal 25 milyar rupiah dan setinggi-tingginya seratus milyar rupiah, sedangkan untuk pelanggaran mengenai penetapan harga, perjanjian tertutup, penguasaan pasar dan persekongkolan, jabatan rangkap dikenakan denda minimal lima milyar rupiah dan maksimal 25 milyar rupiah. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran berat dikenakan pidana tambahan sesuai dengan Pasal 10 KUH Pidana berupa:

Pencabutan izin usaha, larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris minimal dua tahun dan maksimal lima tahun. Penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain.
Sumber :
http://ziadafaqtarib.blogspot.com/2012/10/antimonopoli-dan-persaingan-usaha-tidak.html

Perlindungan Konsumen


1.      Pengertian
Perlindungan konsumen adalah perangkat hukum yang diciptakan untuk melindungi dan terpenuhinya hak konsumen. Sebagai contoh, para penjual diwajibkan menunjukkan tanda harga sebagai tanda pemberitahuan kepada konsumen.
2.      Azas dan Tujiuan
Asas Perlindungan Konsumen
Asas Manfaat, mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
Asas Keadilan, partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
Asas Keseimbangan, memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual.
Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen, memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalarn penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
Asas Kepastian Hukum, baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Tujuan Perlindungan Konsumen
Sesuai dengan pasal 3 Undang-undang Perlindungan Konsumen, tujuan dari Perlindungan Konsumen adalah
a)      Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
b)      Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa.
c)      Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
d)     Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
e)      Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha.
f)       Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.

3.      Hak dan Kewajiban Konsumen
Hak-hak Konsumen
Sesuai dengan Pasal 4 Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK), Hak-hak Konsumen adalah :
a)      Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.
b)      Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
c)      Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.
d)     Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan.
e)      Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
f)       Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.
g)      Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
h)      Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi/penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
i)        Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Kewajiban Konsumen
Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen, Kewajiban Konsumen adalah :
a)      Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan.
b)      Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.
c)      Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
d)     Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

4.      Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Seperti halnya konsumen, pelaku usaha juga memiliki hak dan kewajiban. Hak pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPK adalah:
a)      Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
b)      Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik.
c)      Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.
d)     Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
e)      Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Sedangkan kewajiban pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 7 UUPK adalah:
a)      Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya
b)      Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.
c)      Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
d)     Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.
e)      Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan.
f)       Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
g)      Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

5.      Perbuatan Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha
Dalam pasal 8 sampai dengan pasal 17 undang-undang nomor 8 tahun 1999, mengatur perbuatan hukum yang dilarang bagi pelaku usaha larangan dalam memproduksi atau memperdagangkan, larangan dalam menawarkan , larangan-larangan dalam penjualan secara obral / lelang , dan dimanfaatkan dalam ketentuan periklanan .
1. larangan dalam memproduksi / memperdagangkan.
Pelaku usaha dilarang memproduksi atau memperdagangkan barang atau jasa, misalnya:
a)      Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
b)      Tidak sesuai dengan berat isi bersih atau neto.
c)      Tidak sesuai dengan ukuran , takaran, timbangan, dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya.
d)     Tidak sesuai denga kondisi, jaminan, keistimewaan sebagaimana dinyatakan dalam label, etika , atau keterangan barang atau jasa tersebut.
e)      Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label.
f)       Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal.
g)      Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat barang, ukuran , berat isi atau neto
2. larangan dalam menawarkan / memproduksi
pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan suatu barang atau jasa secara tidak benar atau seolah-olah:
a)      Barang tersebut telah memenuhi atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu.
b)      Barang tersebut dalam keadaan baik/baru.
c)      Barang atau jasa tersebut telah mendapat atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu.
d)     Dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan, atau afiliasi.
e)      Barang atau jasa tersebut tersedia.
f)       Tidak mengandung cacat tersembunyi.
g)      Kelengkapan dari barang tertentu.
h)      Berasal dari daerah tertentu.
i)        Secara langsun g atau tidak merendahkan barang atau jasa lain.
j)        Menggunakan kata-kata yang berlebihan seperti aman, tidak berbahaya , atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap.
k)      Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
3. larangan dalam penjualan secara obral / lelang
Pelaku usaha dalam penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau lelang , dilarang mengelabui / menyesatkan konsumen, antara lain :
a)      Menyatakan barang atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar tertentu.
b)      Tidak mengandung cacat tersembunyi.
c)      Tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud menjual barang lain.
d)     Tidak menyedian barang dalam jumlah tertentu atau jumlah cukup dengan maksud menjual barang yang lain.
4. larangan dalam periklanan
Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan , misalnya :
a)      Mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan, dan harga mengenai atau tarif jasa, serta ketepatan waktu penerimaan barang jasa.
b)      Mengelabui jaminan / garansi terhadap barang atau jasa.
c)      Memuat informasi yang keliru, salah atau tidak tepat mengenai barang atau jasa.
d)     Tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang atau jasa.
e)      Mengeksploitasi kejadian atau seseorang tanpa seizing yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan.
f)       Melanggar etika atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan.

6.      Klausa Baku dalam Perjanjian
Di dalam pasal 18 undang-undang nomor 8 tahun 1999, pelaku usaha dalam menawarkan barang dan jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantunkan klausula baku pada setiap dokumen atau perjanjian, antara lain :
a)      Menyatakan pengalihan tanggungn jawab pelaku usaha.
b)      Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen.
c)      Pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang atau jasa yang di beli konsumen.
d)     Pemberian klausa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli konsumen secara angsuran.
e)      Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau manfaat jasa yang dibeli oleh konsumen.
f)       Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa.
Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara terlihat atau tidak dapat dibaca seacra jelas atau yang pengungkapannya sulit dimengerti sebagai konsekuensinya setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha dalam dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana di atas telah dinaytakan batal demi hukum. Oleh karena itu , pelaku usaha diwajibkan untuk menyesuaikan klausula baku yang dibuatnya yang bertentangan dengan undang-undang.
7.      Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Setiap pelaku usaha harus bertanggung jawab atas produk yang dihasilkan atau diperdagangkan. Tanggung jawab produk timbul dikarenakan kerugian yang dialami konsumen sebagai akibat dari “ produk yang cacat “, bisa dikarenakan kekurang cermatan dalam memproduksi, tidak sesuai dengan yang diperjanjikan atau kesalahan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Dengan kata lain, pelaku usaha ingkar janji atau melakukan perbuatan melawan hukum. Di dalam undang-undang nomor 8 tahun 1999 diatur psal 19 sampai dengan pasal 28. di dalam pasal 19 mengatur tanggung jawab kesalahan pelaku usaha terhadap produk yang dihasilkan atau diperdagangkan dengan memberi ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran, kerusakan, kerugian konsumen. Sementara itu, pasal 20 dan pasal 21 mengatur beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian, sedangkan pasal 22 menentukan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsure kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana telah diatur dalam pasal 19
Di dalam pasal 27 disebut hal-hal yang membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawab atas kerugian yand diderita konsumen, apabila :
a)      Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksud untuk diedarkan.
b)      Cacat barabg timbul pada kemudian hari.
c)      Cacat timul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang.
d)     Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen.
e)      Lewatnya jangka waktu penuntutan 4 tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu yang diperjanjikan.

8.      Sanksi
Sanksi yang diberikan oleh undang – undang nomor 8 tahun 1999, yang tertulis dalam pasal 60 sampai dengan pasal 63 dapat berupa sanksi administrative, dan sanksi pidana pokok, serta tambahan berupa perampas barang tertentu, pengumuman keputusan hakim, pembayaran ganti rugi, perintah penghentiaan kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen, kewajiban penarikan barang dari peredaran, atau pencabuatn izin usaha.
 Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Perlindungan_konsumen
http://www.ylki.or.id/hak-dan-kewajiban-konsumen